 Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika No. 65 Bandung,
dibangun untuk pertama kalinya pada tahun 1895. Pada waktu itu hanya
berupa bangunan sederhana yang digunakan sebagai semacam warung kopi.
Selanjutnya, secara berturut-turut, yakni pada tahun 1920 dan 1928
gedung tersebut diperbaharui sehingga menjadi gedung dalam bentuk yang
sekarang.
Pembangunan gedung tersebut
terakhir dilakukan dengan rancangan yang dibuat oleh dua orang arsitek
berkebangsaan Belanda bernama Van Gallen
Last dan C.P. Wolff Schoemaker. Keduanya adalah Guru Besar pada
Technische Hogeschool (Sekolah Teknik Tinggi), yaitu ITB sekarang. Pada
waktu itu gedung yang diberi nama SOCITEIT CONCORDIA dipergunakan sebagai tempat rekreasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di kota Bandung dan sekitarnya. Mereka
adalah para pegawai perkebunan, perwira, pembesar, pengusaha, dan
kalangan lain yang cukup kaya. Pada hari libur, terutama malam hari,
gedung ini dipenuhi oleh mereka untuk menonton pertunjukan kesenian,
makan malam, dan hiburan lainnya. Sociteit Concordia termasuk gedung
paling mewah dibandingkan dengan gedung-gedung Sociteit lainnya di Kota
Bandung.
Sejak berdirinya, ruangan-ruangan dalam Gedung Sociteit
Concordia cukup memadai untuk menampung kegiatan-kegiatan pertunjukan
kesenian. Pada waktu itu Gedung Concordia sering dipergunakan oleh
perkumpulan kesenian di Bandung dengan cara menyewa ruangan gedung
tersebut untuk pertunjukan kesenian, seperti Persatuan Sandiwara Braga
yang belum memiliki ruangan pertunjukan sendiri. Gedung Concordia adalah gedung megah, terlihat dari lantainya yang terbuat dari marmerbuatan Italia
yang mengkilap; ruangan-ruangan tempat minum-minum dan bersantai
terbuat dari kayu cikenhout; sedangkan untuk penerangannya dipakai
lampu-lampu bias kristal yang tergantung gemerlapan. Luas seluruh
tanahnya 7.500 m2
Pada masa pendudukan tentara Jepang, Gedung
Concordia, seperti halnya gedung-gedung penting dan gedung lainnya milik
pemerintah, dikuasai oleh tentara pendudukan Jepang. Pada waktu itu,
Gedung Concordia diberi nama bahasa Jepang, yakni DAI TOA KAMAN dan
fungsinya sebagai pusat kebudayaan. Sesungguhnya hanya sebagai tempat
kegiatan yang bertalian dengan kesenian dan hiburan.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik. Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, Gedung Concordia dijadikan markas para
pemuda Indonesia di Kota Bandung guna menghadapi tentara Jepang yang
pada waktu itu tidak bersedia untuk menyerahkan kekuasaannya. Pada akhir
tahun 1945, ketika timbul tuntutan pihak tentara Sekutu agar kekuatan
bersenjata pihak Indonesia di Kota Bandung meninggalkan daerah Kota
Bandung Utara (sebelah utara jalan kereta api yang membelah kota ini),
pemerintah kota Bandung yang merupakan bagian Republik Indonesia
mengambil keputusan untuk memindahkan tempat kegiatannya, yang semula di
bagian utara kota, ke daerah kota Bandung bagian selatan. Salah satu
gedung tempat kegiatan pemerintah Kota Bandung itu ialah di Gedung
Concordia.
Perkembangan revolusi kemerdekaan di Kota Bandung mendorong munculnya lagi ultimatum dari pihak Sekutu yang diboncengi NICA
(Belanda) kepada pihak Republik Indonesia. Ultimatum itu berbunyi agar
pasukan bersenjata Republik Indonesia meninggalkan kota Bandung sejauh
radius 11 kilometer. Ultimatum Sekutu terhadap Pemerintah Republik
Indonesia itu mengakibatkan terjadinya peristiwa BANDUNG LAUTAN API pada
tanggal 24 Maret 1946, karena pihak Republik Indonesia tidak rela kota
Bandung diduduki musuh secara utuh. Gedung Concordia terpaksa
ditinggalkan dari kedudukannya sebagai tempat aktivitas pemerintahan
Kota Bandung.
Sejak pemerintahan pendudukan (1946 - 1950)
yang ditandai oleh adanya pemerintahan Haminte Bandung, Negara Pasundan,
dan Recomba Jawa Barat, Gedung Concordia dipergunakan lagi sebagai
gedung pertemuan umum. Di gedung ini biasa diselenggarakan lagi
pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya.
Sehubungan dengan keputusan pemerintah Republik Indonesia (1954) yang
menetapkan Kota Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika,
maka Gedung Concordia terpilih sebagai tempat konferensi tersebut. Hal
ini disebabkan Gedung Concordia adalah gedung tempat pertemuan umum yang
paling besar dan paling megah di Kota Bandung. Tambahan pula lokasinya
berada di tengah-tengah Kota Bandung serta berdekatan dengan hotel
terbaik pula di kota ini, yaitu Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger.
Patut dikemukakan pula bahwa pemilihan Kota Bandung sebagai tempat
Konferensi Asia Afrika datang dari Presiden RI Ir. Soekarno. Pemilihan
tersebut berdasarkan atas kenyataan dan kesaksian beliau bahwa kota
Bandung merupakan kota perjuangan dalam menentang dan mengenyahkan
kolonialisme dan imperialisme dari bumi Indonesia.
Sejak awal
tahun 1955, Gedung Sociteit Concordia mulai dipugar untuk disesuaikan
kegunaannya sebagai tempat penyelenggaraan suatu konferensi bertaraf
internasional, betapa pun serba terbatasnya anggaran negara dan
kemampuan teknologi waktu itu. Pemugaran Gedung Concordia ditangani oleh
Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang dipimpin Ir. R. Srigati
Santoso. Para pelaksana pemugaran tersebut terdiri atas 1) Biro Ksatria, di bawah pimpinan R. Machdar Prawiradilaga 2) PT. Alico, di bawah pimpinan M.J. Ali 3) PT. AIA, di bawah pimpinan R.M. Madyono
Selain Gedung Concordia, sebuah gedung besar lain di Kota Bandung
dipersiapkan pula untuk tempat sidang-sidang Konferensi Asia Afrika,
yaitu Gedung Pension Fonds (Gedung Dana Pensiun). Menjelang Konferensi
Asia Afrika berlangsung, Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun
diganti namanya oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Nama
Gedung Concordia diubah menjadi Gedung Merdeka, dan Gedung Dana Pensiun
menjadi Gedung Dwi Warna.
Selama Konferensi Asia Afrika
berlangsung (18-24 April 1955), Gedung Merdeka dan Gedung Dwi Warna
benar-benar digunakan dan memenuhi segala kebutuhan konferensi, walaupun
tidak sesempurna dan semegah mungkin. Bahkan jika diukur oleh kondisi
sekarang dan yang hadir para kepala negara, dapat dikatakan bahwa
prasarana dan sarana yang disediakan waktu itu tergolong sederhana
sekali, seperti kursi yang terbuat dari rotan, sound system dan kamera
film buatan sebelum perang. Gedung Merdeka digunakan untuk upacara
pembukaan, sidang pleno, dan upacara penutupan. Sedangkan Gedung Dwi
Warna dipakai untuk sidang-sidang komisi (Komisi Politik, Komisi
Ekonomi, dan Komisi Kebudayaan). Patut dicatat bahwa sejumlah
delegasi turut merasa kagum dan bangga atas keberadaan Gedung Merdeka
dan Gedung Dwi Warna itu, bahkan beberapa delegasi menyatakan
keheranannya. Hal itu dapat dimaklumi karena hampir semua delegasi itu
tidak pernah mengunjungi Indonesia sebelumnya. Sebagai gambaran, pihak
India pernah mengusulkan agar konferensi itu diselenggarakan di dalam
tenda saja, jika gedung yang baik tidak ada.
Setelah
terbentuk Konstituante Republik Indonesia sebagai hasil pemilihan umum
tahun 1955, Gedung Merdeka dijadikan sebagai Gedung Konstituante. Karena
Konstituante dipandang gagal dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu
menetapkan dasar negara dan undang-undang dasar negara, maka
Konstituante itu dibubarkan oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Selanjutnya, Gedung Merdeka dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang
Nasional dan kemudian menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) yang terbentuk tahun 1960. Meskipun fungsi Gedung
Merdeka berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan yang
dialami dalam perjuangan mempertahankan, menata, dan mengisi kemerdekaan
Republik Indonesia, nama Gedung Merdeka tetap terpancang pada bagian
muka gedung tersebut.
Pada tahun 1965 di Gedung Merdeka
dilangsungkan Konferensi Islam Asia Afrika. Pada tahun 1971 kegiatan
MPRS di Gedung Merdeka seluruhnya dialihkan ke Jakarta. Setelah meletus
pemberontakan G30S/ PKI, Gedung Merdeka dikuasai oleh instansi militer
dan sebagian dari gedung tersebut dijadikan sebagai tempat tahanan
politik G30S/ PKI. Pada bulan Juli 1966, pemeliharaan Gedung Merdeka
diserahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Barat, yang selanjutnya oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Barat diserahkan lagi pelaksanaannya kepada Pemerintah
Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung. Tiga tahun kemudian, tanggal 6 Juli
1968, pimpinan MPRS di Jakarta mengubah surat keputusan mengenai Gedung
Merdeka (bekas Gedung MPRS) dengan ketentuan bahwa yang diserahkan
adalah bangunan induknya, sedangkan bangunan-bangunan lainnya yang
terletak di bagian belakang Gedung Merdeka masih tetap menjadi tanggung
jawab MPRS.
Walaupun pengurusan Gedung Merdeka sebagian oleh
Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung dan sebagian lagi oleh
MPRS, namun gedung tersebut masih dipergunakan oleh instansi militer.
Bangunan induknya dipergunakan sebagai tempat kesenian oleh
penghuni-penghuni liar, baik perorangan maupun organisasi atau badan
resmi. Akibat adanya penghuni liar ini dan tidak adanya yang mengurus,
memelihara, dan merawat gedung bersejarah tersebut, maka Gedung Merdeka
menjadi terbengkalai. Seluruh ruangan dalam ruangan gedung tersebut
menjadi bocor, pintu-pintu rusak, dan kunci-kuncinya hilang. Peralatan
yang dipergunakan sejak Konferensi Asia Afrika, Dewan Perancang Nasional, dan MPRS yang semula masih utuh dan lengkap, sebagian besar hilang.
Pada bulan September 1968, Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa
Barat menunjuk seorang pimpinan beserta sejumlah karyawan untuk
menangani pemeliharaan gedung tersebut. Biaya pemeliharaannya didapat
dari hasil penyewaan gedung untuk penyelenggaraan pertunjukan. Ruangan
yang disewakan adalah Ruang Utama (Main Hall). Di dalam ruangan tersebut
dibuat panggung sederhana dari meja-meja sidang dan meja tulis yang
ditutup dengan kayu hardboard dan triplek. Pada Bulan
Maret 1969, pengelolaan Gedung Merdeka diambil alih kembali oleh
Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dari Pemerintah Daerah
Tingkat II Kotamadya Bandung. Sebagai tindak lanjut pengalihan
pengelolaan gedung tersebut, dibentuklah "Board of Management" dengan
menunjuk The Jusuf sebagai kepala pengelola Gedung Merdeka. Dengan
adanya perubahan sistem organisasi pada Pemerintah Daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Barat, maka ditunjuklah R. Ipung Gandapradja sebagai
manajer Gedung Merdeka dan The Jusup sebagai asisten manajer. Disamping
itu dibentuk pula badan pengawas yang diketuai oleh A. Rahim, Kepala
Dinas Pariwisata Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat. Sejak tahun 1970,
Gedung Merdeka mulai digunakan lagi sebagai tempat konferensi bertaraf
nasional maupun internasional, antara lain ECAFE yaitu konferensi yang
diselenggarakan oleh Jawatan Geologi, ILO, Organisasi Islam Asia Afrika,
KONIKA, PGRI. Pada Bulan Maret 1980, Gedung Merdeka
ditetapkan sebagai tempat penyelenggaraan Peringatan ke-25 Konferensi
Asia Afrika, yang dilaksanakan tanggal 24 April 1980. Meskipun
peringatan itu bersifat nasional, namun dalam kesempatan tersebut
diundang pula tokoh-tokoh dari negara-negara Asia Afrika. Pada puncak
acara peringatan, diresmikan berdirinya Museum Konperensi Asia Afrika
oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto. Seluruh Gedung Merdeka
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai lokasi Museum
Konperensi Asia Afrika, sebagaimana yang tertera dalam Prasasti
Peresmian Museum Konperensi Asia Afrika dan Surat Keputusan Bersama
Menteri Luar Negeri serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1980
dan 1986. Museum Konperensi Asia Afrika merupakan badan
pemerintah yang berada di bawah Departemen Luar Negeri c.q. Direktorat
Jenderal Informasi, Diplomasi Publik, dan Perjanjian Internasional.
Perawatan dan pemeliharaan gedung secara fisik tetap ditangani oleh
Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Badan Pengelola Gedung Merdeka. ***
Sumber:
Panduan Museum Konperensi Asia Afrika, Departemen Luar Negeri RI
Direktorat Jenderal Informasi, Diplomasi Publik, Dan Perjanjian
Internasional Museum Konperensi Asia Afrika, 2004
|